Pandangan Prof. Dr. Nur Syam, M.Si Terhadap Pendidikan Kaum Perempuan
Ada beberapa variabel yang menyebabkan kenapa banyak perempuan yang tidak memiliki kecenderungan untuk melanjutkan pendidikannya
Pertama, pandangan teologis bahwa perempuan adalah bagian dari lelaki.
Dia adalah tulang rusuk lelaki, sehingga posisinya dalam relasi antara lelaki dan perempuan adalah relasi yang tidak seimbang. Lelaki lebih superior sementara perempuan lebih inferior. Pandangan ini ada yang diangkat dari teks ajaran agama, bahwa yang bisa menjadi pemimpin adalah kaum lelaki sementara perempuan tidak bisa menjadi pemimpin.
Kedua, pandangan sosiologis,
bahwa perempuan dalam banyak hal diposisikan berada di dalam rumah. Lebih banyak berada di dalam urusan domestik ketimbang urusan publik. Masih banyak pandangan sosiologis, yang menyatakan bahwa perempuan tidak perlu berpendidikan tinggi. Relasi antara lelaki dan perempuan berada di ruang rumah tangga, sehingga perempuan lebih banyak berada di ruang domestik tersebut.
Ketiga, pandangan psikhologis,
bahwa perempuan dianggap tidak penting untuk berpendidikan karena posisinya lebih banyak menjadi isteri. Di dalam tradisi kita, masih banyak anggapan bahwa perempuan harus cepat dikawinkan. Kawin muda jauh lebih baik ketimbang menjadi perawan tua. Ada ketakutan luar biasa di kalangan orang tua, jika anak perempuannya tidak sesegera mungkin memperoleh jodoh. Ada semacam pandangan bahwa lebih baik menjadi janda muda dari pada menjadi perawan tua.
Keempat, pandangan budaya, adanya anggapan bahwa perempuan merupakan sosok manusia yang secara kebudayaan memang tidak memerlukan pendidikan tinggi. Di dalam hal ini, maka perempuan hanya menjadi pelengkap saja. Ada ungkapan tradisi yang menyatakan ”perempuan itu, suwargo nunut neroko katut”. Artinya bahwa perempuan itu hanyalah konco wingking, atau kawan di belakang atau di dalam rumah.
Kelima, pandangan ekonomi,
bahwa banyak perempuan yang tidak melanjutkan pendidikannya, karena ketidakmampuan ekonomi. Banyak orang tua tidak melanjutkan pendidikan pendidikan anak-anaknya. Banyak yang karena alasan ekonomi kemudian perempuan tidak melanjutkan pendidikannya. Jika misalnya ada dua anak: lelaki dan perempuan, maka yang diminta untuk melanjutkan adalah yang lelaki, sementara yang perempuan sesegera mungkin dikawinkan agar terlepas dari beban ekonomi keluarga.
Pandangan stereotipis seperti ini yang menyebabkan kenapa angka partisipasi pendidikan di kalangan perempuan masih rendah. Banyak perempuan, terutama di daerah pedesaan, yang kemudian tidak melanjutkan pendidikannya. Jika sudah lulus sekolah dasar, maka sudah dianggap cukup. Yang penting bisa membaca.
Di antara sekian banyak variabel tersebut, mungkin variabel ekonomi yang lebih dominan ketimbang variabel-variabel lainnya. Seperti diketahui bahwa jumlah masyarakat yang masih berada di bawah garis kemiskinan adalah masih sekitar 17,75% dari jumlah penduduk Indonesia. Dari angka ini, maka yang masih dominan adalah di wilayah pedesaan. Makanya jika persoalan kemiskinan itu dikaitkan dengan pandangan budaya, sosial, dan psikhologis masyarakat, maka pantaslah jika angka partisipasi pendidikan perempuan masih rendah.
Oleh karena itu, maka haruslah ada pemihakan kepada kaum perempuan. Saya berkeyakinan bahwa banyak anak perempuan yang cerdas dan memiliki potensi untuk melanjutkan pendidikannya. Maka jika tidak ada kebijakan yang membela kaum perempuan di dalam pendidikan, maka akan banyak potensi perempuan yang tidak bisa dimaksimalkan.
Jika di dalam dunia politik ada kuota 30% perempuan, maka saya rasa juga pantas kalau ada juga kuota untuk partisipasi perempuan di dalam dunia pendidikan. Melalui pemihakan tersebut, maka saya berkeyakinan bahwa kelak akan semakin banyak kaum perempuan yang terdidik, sehingga juga akan semakin banyak peluang yang bisa dimasuki perempuan di dalam kancah kehidupan sosial kemasyarakatan.
Jadi, ke depan mesti harus ada kebijakan yang lebih nyata tentang pemihakan kepada perempuan yang karena ekonomi atau lainnya ternyata tidak bisa mengakses dunia pendidikan.http://nursyam.sunan-ampel.ac.id/?p=871
Ada beberapa variabel yang menyebabkan kenapa banyak perempuan yang tidak memiliki kecenderungan untuk melanjutkan pendidikannya
Pertama, pandangan teologis bahwa perempuan adalah bagian dari lelaki.
Dia adalah tulang rusuk lelaki, sehingga posisinya dalam relasi antara lelaki dan perempuan adalah relasi yang tidak seimbang. Lelaki lebih superior sementara perempuan lebih inferior. Pandangan ini ada yang diangkat dari teks ajaran agama, bahwa yang bisa menjadi pemimpin adalah kaum lelaki sementara perempuan tidak bisa menjadi pemimpin.
Kedua, pandangan sosiologis,
bahwa perempuan dalam banyak hal diposisikan berada di dalam rumah. Lebih banyak berada di dalam urusan domestik ketimbang urusan publik. Masih banyak pandangan sosiologis, yang menyatakan bahwa perempuan tidak perlu berpendidikan tinggi. Relasi antara lelaki dan perempuan berada di ruang rumah tangga, sehingga perempuan lebih banyak berada di ruang domestik tersebut.
Ketiga, pandangan psikhologis,
bahwa perempuan dianggap tidak penting untuk berpendidikan karena posisinya lebih banyak menjadi isteri. Di dalam tradisi kita, masih banyak anggapan bahwa perempuan harus cepat dikawinkan. Kawin muda jauh lebih baik ketimbang menjadi perawan tua. Ada ketakutan luar biasa di kalangan orang tua, jika anak perempuannya tidak sesegera mungkin memperoleh jodoh. Ada semacam pandangan bahwa lebih baik menjadi janda muda dari pada menjadi perawan tua.
Keempat, pandangan budaya, adanya anggapan bahwa perempuan merupakan sosok manusia yang secara kebudayaan memang tidak memerlukan pendidikan tinggi. Di dalam hal ini, maka perempuan hanya menjadi pelengkap saja. Ada ungkapan tradisi yang menyatakan ”perempuan itu, suwargo nunut neroko katut”. Artinya bahwa perempuan itu hanyalah konco wingking, atau kawan di belakang atau di dalam rumah.
Kelima, pandangan ekonomi,
bahwa banyak perempuan yang tidak melanjutkan pendidikannya, karena ketidakmampuan ekonomi. Banyak orang tua tidak melanjutkan pendidikan pendidikan anak-anaknya. Banyak yang karena alasan ekonomi kemudian perempuan tidak melanjutkan pendidikannya. Jika misalnya ada dua anak: lelaki dan perempuan, maka yang diminta untuk melanjutkan adalah yang lelaki, sementara yang perempuan sesegera mungkin dikawinkan agar terlepas dari beban ekonomi keluarga.
Pandangan stereotipis seperti ini yang menyebabkan kenapa angka partisipasi pendidikan di kalangan perempuan masih rendah. Banyak perempuan, terutama di daerah pedesaan, yang kemudian tidak melanjutkan pendidikannya. Jika sudah lulus sekolah dasar, maka sudah dianggap cukup. Yang penting bisa membaca.
Di antara sekian banyak variabel tersebut, mungkin variabel ekonomi yang lebih dominan ketimbang variabel-variabel lainnya. Seperti diketahui bahwa jumlah masyarakat yang masih berada di bawah garis kemiskinan adalah masih sekitar 17,75% dari jumlah penduduk Indonesia. Dari angka ini, maka yang masih dominan adalah di wilayah pedesaan. Makanya jika persoalan kemiskinan itu dikaitkan dengan pandangan budaya, sosial, dan psikhologis masyarakat, maka pantaslah jika angka partisipasi pendidikan perempuan masih rendah.
Oleh karena itu, maka haruslah ada pemihakan kepada kaum perempuan. Saya berkeyakinan bahwa banyak anak perempuan yang cerdas dan memiliki potensi untuk melanjutkan pendidikannya. Maka jika tidak ada kebijakan yang membela kaum perempuan di dalam pendidikan, maka akan banyak potensi perempuan yang tidak bisa dimaksimalkan.
Jika di dalam dunia politik ada kuota 30% perempuan, maka saya rasa juga pantas kalau ada juga kuota untuk partisipasi perempuan di dalam dunia pendidikan. Melalui pemihakan tersebut, maka saya berkeyakinan bahwa kelak akan semakin banyak kaum perempuan yang terdidik, sehingga juga akan semakin banyak peluang yang bisa dimasuki perempuan di dalam kancah kehidupan sosial kemasyarakatan.
Jadi, ke depan mesti harus ada kebijakan yang lebih nyata tentang pemihakan kepada perempuan yang karena ekonomi atau lainnya ternyata tidak bisa mengakses dunia pendidikan.http://nursyam.sunan-ampel.ac.id/?p=871