Wanita Arab Saudi umumnya berhasrat untuk meniti karir setelah lulus dari perguruan tinggi, namun sikap pria yang masih kolot menghalangi niat mereka, demikian menurut hasil survei.
Studi yang dilakukan terhadap 4.400 responden di kalangan kampus di Arab Saudi, ungkap Daily Star Com. bersumber dari AFP, Jumat, menyebutkan bahwa keyakinan pada Islam ternyata bukan halangan utama bagi wanita Arab saudi untuk meniti karir.
Sebaliknya, hambatan terberat justru muncul dari kalangan pria yang berfikiran kolot, yang menganggap wanita harus menikah dan berdiam di rumah saat suami bekerja.
Sedangkan kendala berikutnya untuk meniti karir adalah ketatnya persaingan, baik dialami pria maupun wanita dalam memperebutkan lapangan kerja yang sempit.
Hasil survei masal pertama di kalangan kampus Arab Saudi yang dilakukan bersama oleh ilmiawan ilmu sosial Arab Saudi dan Austria antara 2007 dan 2008 itu juga mengungkapkan bahwa lebih banyak wanita Saudi yang lulus perguruan tinggi ketimbang mahasiswa pria, namun lebih sedikit jumlahnya yang bisa bekerja.
Sekitar 80 persen wanita menghendaki persamaan kesempatan (untuk bekerja) dan ingin bersaing dalam disiplin ilmu sesuai kompetensi mereka, sebaliknya, lebih separuh pria menolak hal itu dan hanya 22 persen yang bisa menerima jika wanita harus bersaing langsung dengan pria.
Namun demikian, hampir dua pertiga mahasiswa pria berpandangan positif jika mitra lawan jenisnya akan bekerja setelah lulus perguruan tinggi.
"Ini penting, karena penerimaan oleh pria (wanita bekerja) adalah prasyarat atau semacam `tiket masuk`bagi wanita ke dunia pekerjaan, " ungkap studi tersebut.
Namun demikian, kedua jenis gender masih ragu terhadap terjadinya perubahan sustansial mengenai hak-hak wanita dalam kurun lima tahun mendatang. Hanya 36 persen mahasiwi yang merasa yakin, sementara 36 persen hanya bisa berharap, sebaliknya hanya 26 persen mahasiwa yakin perubahan akan terjadi.
"Orang yang yakin terjadinya perubahan peran gender, agaknya juga memprediksikan, itu akan jadi kenyataan," ungkap survei itu. Kedua gender (di kalangan kampus-red) juga menilai bahwa masuknya wanita ke dalam pasar tenaga kerja tidak bertentangan dengan paham penganut garis keras Islam di Arab Saudi.
Hanya 24 persen pria dan delapan persen wanita (responden di kampus-red) yang menganggap kehidupan beragama di Arab Saudi akan terganggu jika wanita berkarya.
Melalui pemahaman yang konservatif terhadap keyakinan Islam, masyrakat Arab Saudi termasuk salah satu di antara beberapa negara yang memberlakukan pengawasan ketat terhadap wanita.
Wanita Arab sejauh ini dilarang mngendarai mobil, harus meminta izin suami atau atasan jika hendak beraktivitas di luar rumah dan dilarang bercampur-baur dengan laki-laki bukan muhrimnya, baik di lingkungan universitas, kantor pemerintah maupun swasta. ( ant/pur )
Studi yang dilakukan terhadap 4.400 responden di kalangan kampus di Arab Saudi, ungkap Daily Star Com. bersumber dari AFP, Jumat, menyebutkan bahwa keyakinan pada Islam ternyata bukan halangan utama bagi wanita Arab saudi untuk meniti karir.
Sebaliknya, hambatan terberat justru muncul dari kalangan pria yang berfikiran kolot, yang menganggap wanita harus menikah dan berdiam di rumah saat suami bekerja.
Sedangkan kendala berikutnya untuk meniti karir adalah ketatnya persaingan, baik dialami pria maupun wanita dalam memperebutkan lapangan kerja yang sempit.
Hasil survei masal pertama di kalangan kampus Arab Saudi yang dilakukan bersama oleh ilmiawan ilmu sosial Arab Saudi dan Austria antara 2007 dan 2008 itu juga mengungkapkan bahwa lebih banyak wanita Saudi yang lulus perguruan tinggi ketimbang mahasiswa pria, namun lebih sedikit jumlahnya yang bisa bekerja.
Sekitar 80 persen wanita menghendaki persamaan kesempatan (untuk bekerja) dan ingin bersaing dalam disiplin ilmu sesuai kompetensi mereka, sebaliknya, lebih separuh pria menolak hal itu dan hanya 22 persen yang bisa menerima jika wanita harus bersaing langsung dengan pria.
Namun demikian, hampir dua pertiga mahasiswa pria berpandangan positif jika mitra lawan jenisnya akan bekerja setelah lulus perguruan tinggi.
"Ini penting, karena penerimaan oleh pria (wanita bekerja) adalah prasyarat atau semacam `tiket masuk`bagi wanita ke dunia pekerjaan, " ungkap studi tersebut.
Namun demikian, kedua jenis gender masih ragu terhadap terjadinya perubahan sustansial mengenai hak-hak wanita dalam kurun lima tahun mendatang. Hanya 36 persen mahasiwi yang merasa yakin, sementara 36 persen hanya bisa berharap, sebaliknya hanya 26 persen mahasiwa yakin perubahan akan terjadi.
"Orang yang yakin terjadinya perubahan peran gender, agaknya juga memprediksikan, itu akan jadi kenyataan," ungkap survei itu. Kedua gender (di kalangan kampus-red) juga menilai bahwa masuknya wanita ke dalam pasar tenaga kerja tidak bertentangan dengan paham penganut garis keras Islam di Arab Saudi.
Hanya 24 persen pria dan delapan persen wanita (responden di kampus-red) yang menganggap kehidupan beragama di Arab Saudi akan terganggu jika wanita berkarya.
Melalui pemahaman yang konservatif terhadap keyakinan Islam, masyrakat Arab Saudi termasuk salah satu di antara beberapa negara yang memberlakukan pengawasan ketat terhadap wanita.
Wanita Arab sejauh ini dilarang mngendarai mobil, harus meminta izin suami atau atasan jika hendak beraktivitas di luar rumah dan dilarang bercampur-baur dengan laki-laki bukan muhrimnya, baik di lingkungan universitas, kantor pemerintah maupun swasta. ( ant/pur )